Rabu, 03 November 2010

ORANG ISLAM DIBUNUH, QURANNYA DIBAKAR!

Supir taksi Ahmed Sharif, 43 tahun, warga Amerika keturunan Bangladesh, betul-betul tak menaruh curiga pada penumpang itu, seorang pemuda kulit putih.  Pemuda ini menyetop taksinya di kawasan Second Avenue, Manhanttan, New York, Selasa sore, 24 Agustus lalu.

Maka dengan polos Sharif mengaku sebagai Muslim saat pemuda itu menanyakan agama dan negara asalnya. Sharif pun mengucapkan salam, ‘’Assalamualaikum’’, mengikuti permintaan  sang penumpang.

Tiba-tiba pemuda kulit putih itu berteriak, ‘’Consider this a checkpoint (ini pos pemeriksaan),’’sergahnya menirukan gaya tentara Amerika saat memeriksa orang di pos pemeriksaan (checkpoint) di Afghanistan.

Lalu dari sela-sela pembatas transparan yang memisahkan supir dengan penumpang sebagaimana biasanya taksi di New York,  pemuda kulit putih itu menusuk Sharif  berkali-kali dengan sebilah pisau. Tusukan itu mengenai leher, wajah, bahu, dan tangannya. ‘’Kalau saja tusukan itu lebih dalam, dia sudah mati dalam peristiwa ini,’’ kata James Zaleta, Pembantu Jaksa Distrik Manhattan.
Sembari menangkis atau mengelakkan tusukan pisau Sharif memberhentikan taksinya di dekat pos polisi di Third Avenue. Dia keluar sembari mengunci pintu taksi menyebabkan penumpangnya terkunci di dalam mobil.  Sharif segera melapor  dan polisi dengan cepat menangkap si penumpang yang ternyata bernama Michael Enright, 21 tahun, penduduk New York, sebagaimana halnya Sharif.

Polisi menahan Enright dan mengirimkannya ke sebuah rumah sakit untuk pemeriksaan psikiater. ‘’Ini serangan yang sangat jahat kepada orang tak berdosa, hanya karena agamanya,’’ kata Zaleta kepada wartawan. Bila semua yang dituduhkan terbukti, Enright menghadapi ancaman hukuman 8 sampai 25 tahun.

Enright belum lama pulang dari Afghanistan guna membuat film. Ia bekerja sebagai relawan di sebuah LSM di Manhattan yang – tragisnya – justru aktif mempromosikan perdamaian antar-agama.

Peristiwa seperti ini, kata Walikota New York, Michael Bloomberg, jelas bermotif prasangka anti-Muslim. ‘’Saya tegaskan bahwa prasangka etnis atau agama tak ada tempatnya di kota kita,’’ katanya ketika mengundang  Ahmed Sharif untuk menemuinya di Balai Kota New York, 27 Agustus lalu.

Tapi siapa pun tahu sekarang New York, bahkan Amerika Serikat, bukanlah tempat yang nyaman bagi orang Islam atau Muslim. Negeri yang selama ini membanggakan diri sebagai kampiun demokrasi dan contoh dalam kehidupan dan kebebasan  beragama, sekarang harus malu atas apa yang sedang terjadi di sana.